KUDUS, suaramuria.com – Tempat pembuangan sampah (TPS) liar di pinggir jalan Desa Payaman, Kecamatan Mejobo, Kabupaten Kudus dikeluhkan warga. Sampah menggunung di pinggir jalan memicu bau tak sedap.
Ketua DPRD Kudus Masan dan rombongan wakil rakyat lainnya yang tengah gowes blusukan, Minggu (21/6) pagi sempat berhenti di TPS liar itu. “Kemarin saya mendapat keluhan dari warga. Kami cek langsung ke lokasi ternyata kondisinya sangat memprihatinkan,” katanya.
BACA JUGA : Kerap Mangkir Rakor, Komisi C Minta Kepala Dinas PKPLH Dicopot
Masan mengatakan, tumpukan sampah di TPS liar itu perlu penanganan serius dari OPD terkait. Pasalnya jika dibersihkan secara manual butuh waktu lama. “Perlu alat berat untuk membersihkannya,” katanya.
Selain itu, pihak desa perlu gencar melakukan sosialisasi ke warga agar tak membuang sampah di lokasi itu. Jika perlu, pemdes menyediakan kontainer sampah yang ditempatkan di titik-titik tertentu.
“Perlu ada kerjasama Pemdes dan Dinas PKPLH untuk pengangkutan sampah agar tidak sampai menggunung seperti ini,” katanya.
Masan mengatakan, DPRD sudah berulangkali mendesak Dinas PKPLH memaksimalkan pelayanan pengangkutan sampah dari masyarakat. Selama ini, ia melihat armada sampah Pemkab Kudus cenderung mementingkan pengangkutan sampah dari pihak swasta.
“Kami sebelumnya mengusulkan agar target retribusi pengangkutan sampah dari masyarakat dihapus saja agar OPD tidak terbebani target,” katanya.
Armada Sendiri
Selain itu, pihak swasta didesak untuk menyediakan armada sampah sendiri. Dalam pengelolaan sampah, Pemkab hanya menyediakan fasilitas TPA di Tanjungrejo, Kecamatan Jekulo.
“Jika swasta memiliki armada sendiri, armada milik Pemkab bisa dioptimalkan untuk melayani masyarakat,” katanya.
Terpisah, Kepala Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Lingkungan Hidup (PKPLH) Agung Karyanto mengaku telah mendapatkan laporan TPS liar di Desa Payaman tersebut. “Sudah kami koordinasikan dengan Camat Mejobo untuk penangannya,” katanya.
Persoalan TPS liar di Payaman sudah ada sejak sebelum pandemi Covid-19. Saat itu ada penanganan secara manual oleh pihak desa. Namun penanganan secara manual tidak optimal. “Penanganan secara manual pun mandeg karena ada pandemi Covid-19,” katanya. (SRM)