

Keputusan Samaan (32) untuk berhenti jadi kuli bangunan di Jakarta demi menekuni hobinya bertanam anggur di Patiayam, 2 tahun lalu sangat tepat.
Dari usahanya itu, ia kini memasok bibit anggur hampir ke semua wilayah Indonesia, kecuali Papua. Tetangganya banyak yang tak percaya. Bagaimana anggur bisa tumbuh dan berbuah di desa perbukitan kawasan situs Patiyam yang cenderung kering.
***
BUAH anggur bergelantungan di kebun belakang rumah Samaan (32), di RT 1 RW 4 Dukuh Ngrangit, Desa Terban, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus itu. Di Kebun itu, Aan, begitu ia akrab disapa, memang menanam anggur berbagai jenis.
Tanaman itu ditopang rangka baja ringan sebagai penyangga. Daunnya yang merambat menjadi “kanopi” hijau. Ditambah buah anggur yang bergelantungan, tangan sepertinya tak betah untuk meraihnya, memetik, dan meloloskannya ke mulut. Siapa pun akan betah berlama-lama di sana.
“Saya sebagai warga Terban kaget. Di desa kami anggur bisa tumbuh dengan subur dan berbuah. Buahnya juga enak. Setahu saya ini yang pertama di Kudus, atau mungkin juga di wilayah Muria,” kata Achmad Faridiansyah, warga Desa Terban.
Kebetulan, ia dan sejumlah perangkat desa Terban, Kamis (4/6), berkunjung ke rumah Aan. Alasan mereka datang pun sama. Mereka penasaraan dengan unggahan foto Aan di media sosial. Di fotonya, Aan memamerkan kebun anggurnya, lengkap dengan buah bergelantungan.
BACA JUGA : Makam Sunan Muria Dibuka Lagi, Ini Syaratnya
Siapa sangka, anggur di Patiayam bisa tumbuh subur dan berbuah. Desa Terban selama ini dikenal sebagai kawasan wisata situs purbakala Patiayam. Banyak temuan fosil hewan-hewan purba ditemukan di kawasan Patiayam.
Kontur daerah yang perbukitan berbatu dan cenderung kering, membuat orang tak percaya Aan sukses membudidayakan tanaman anggur.
Laboratorium Kebun Anggur
Aan menuturkan, kebun di belakang rumahnya itu ibarat laboratoriumnya. Selama dua tahun terakhir, ia mencoba membudidayakan Anggur. Ia mengamati bagaimana karakteristik jenis anggur, permasalahan, hingga hama apa yang berpotensi menyerang anggurnya.
Namanya uji coba, upaya Aan tak selamanya mulus. “Gagal pasti pernah. Untungnya sekarang era medsos. Banyak penghobi anggur yang membuat grup di medsos sehingga kami bisa saling bertukar ilmu dan pengalaman,” katanya.
Dari komunitas itu, bapak satu anak ini belajar karakter anggur apakah ditanam. Suami Siti Anisah (32) ini mencontohkan, ada karakter anggur yang yang buahnya krispi dan jussy. Apakah anggurnya akan dibuat minuman, atau untuk dikonsumsi (table grape).
Dari situ ia memilah jenis anggur mana yang cocok ditanam di Desa Terban yang cenderung kering. Di kebunnya itu, ia belajar bagaimana agar tanaman kesayangannya itu bisa berbuah sepanjang waktu.
Kirim Bibit ke Pelosok Indonesia
Dengan perhitungan jarak waktu tanam yang tepat, anggurnya kini berbuah hampir sepanjang waktu. Dalam setahun, tanaman anggur bisa berbuah hingga tiga kali. Ia menentukan harga berdasarkan informasi standar di komunitasnya.
“Ada daerah yang menjual anggur lokal antara Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu per kilogram. Ada yang seharga Rp 150 ribu hingga Rp 200 ribu per kilogram. Saya jual di rentang harga itu,” katanya.
Kerja kerasnya membuahkan hasil. Buahnya selalu ludes diborong peminat anggur. Bibit yang diproduksi Aan Grape, begitu ia menamai usahanya itu, juga diminati penghobi anggur lainnya.


Bibit anggurnya laku dijual seharga Rp 125 ribu per batang. Ia bahkan kewalahan memenuhi permintaan penghobi di berbagai daerah di pelosok Indonesia.
“Yang belum pernah saya kirim cuma Papua. Ada yang minat sebetulnya. Cuma khawatir bagaimana nanti kalau mati saat pengiriman. Belum lagi ongkos kirimnya lebih mahal ketimbang harga bibitnya,” katanya.
Bangun Kebun Edukasi Anggur
Sukses di “laboratoriumnya”, Aan kini menginjak ke kebun yang lebih luas. Bermodal hasil berjualan bibit dan buah anggur, ia membuka lahan seluas 3.500 meter persegi. Sebanyak 600 bibit di tanam di areal tersebut. Usia anggur di kebunnya itu kini sudah tiga bulan.
Jika semuanya lancar, lima bulan lagi anggur-anggur di kebunnya mulai berbuah. Banyak sekolah setingkat PAUD-TK yang ingin berkunjung untuk program kelas luar. Jika saja pandemi Covid-19 tidak lebih dulu datang, program edukasi anggur yang digagasnya kini sudah berjalan.
“Namun ada berkahnya juga. Justru saat ini saya bisa lebih fokus di kebun untuk merawat tanaman. Jadi semoga nanti saat pandemi berakhir, anggur di kebun yang lebih luas sudah jadi. Niatnya memang untuk edukasi maupun agrowisata,” katanya.
Apalagi, Desa Terban banyak dikunjungi wisatawan. Keberadaan Museum Purbakala Patiayam, menjadikan desa di wilayah timur Kabupaten Kudus itu kerap dikunjungi warga.
Aan optimistis menjadikan Terban sebagai desa anggur di Kudus. Ia pun tak menyesal berhenti bekerja sebagai kuli bangunan di Jakarta, demi menekuni hobinya bercocok tanam.
“Sebelum anggur saya mencoba menanam buah tin. Cukup sukses. Buahnya banyak. Tapi karena hitung-hitungan bisnis, saya akhirnya kembali ke hobi lama, tanaman buah anggur,” katanya.


Keberhasilan Aan membudidayakan anggur di Patiayam diapresiasi Kades Terban Supeno. Menurutnya, langkah Aan patut menjadi contoh warga lainnya untuk memanfaatkan hutan tanaman rakyat (HTR) atau lebih dikenal sebagai IPHPS (Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial).
Kebetulan, kebun baru Aan berada di lahan IPHS. Jika ada bantuan penghijauan, Supeno selalu menyarankan bantuan bibit jenis buah saja. Harapannya agar bisa dimanfaatkan buahnya.
“Jika tanaman keras tidak kuat lama di sini. Langkah warga kami yang membudidayakan anggur menjadi bukti tanah di desa kami sangat potensial untuk tanaman buah,” katanya. (SRM)