PATI – Keterbatasan fisik tak membuat Imam Rusono meratapi keadaannya. Justru keterbatasannya itu, memaksanya kreatif agar mampu hidup berdikari. Di “tangan” Imam, limbah kardus berbuah wujud menjadi kerajinan wayang.
Meskipun tak memiliki lengan dan jari jemari, namun Imam Rusono terlihat begitu terampil dalam memainkan kuas. Padahal kuas itu hanya diikatkan di bahunya. Tak berapa lama limbah kardus bekas kotak nasi itupun berubah menjadi wayang yang menarik.
Imam Rusono memang diketahui penyandang tunadaksa atau tak memiliki dua tangan. Nasib malang itu dirasakannya sejak tahun 2009 lalu. Saat itu Imam dan rekannya tengah mempekerjakan proyek konstruksi baja ringan di Jambi.
Saat bekerja di lantai dua, diduga terjadi sebuah korsleting listrik sehingga menyebabkan sejumlah pekerja jatuh dari ketinggian sembilan meter.
”Saya ikut terjatuh dan harus kehilangan kedua tangan saya. Teman saya bahkan ada yang meninggal dunia,” tuturnya lirih.
Setahun berlalu dia sempat terpuruk dalam keputus asaan. Beruntung dia akhirnya tergerak untuk mulai bangkit kembali. Keterbatasannya tanpa kedua tangan itu coba disikapi dengan bijaksana. Dia pun mulai mencoba memanfaatkan limbah kardus untuk dijadikan sebuah karya apik.
Kini di rumah orangtuanya, anak kelima dari enam bersaudara itu setiap harinya mampu membuat 10 wayang. Dari menggambar pola dan mewarnai dia kerjakan sendiri, sementara untuk memotong kardus, mengikat serta memasangkan batang bambu dibantu ayahnya yang seorang pensiunan.
Setelah jadi, wayang buah tangannya dia jajakan di depan sekolah-sekolah dasar. Untuk wayang ukuran kecil hanya dibandrol Rp 5 ribu, sementara ukuran besar dihargai Rp7 ribu saja.
“Itu pun sering ditawar, gak papa yang penting halal,” ujarnya.
Dia pun mengaku mampu membuat hampir semua tokoh pewayangan.Uniknya dia bisa menggunakan media limbah kardus, bukan kulit seperti wayang yang beredar kebanyakan. Kardus itu bahkan sering mencari dari limbah kotak nasi yang banyak dibuang begitu saja.
“Penggunaan limbah kardus lebih ekonomis. Tidak perlu modal begitu besar,”ujar pria asal Desa Pakis, Kecamatan Tayu ini.
Biasanya wayang buatannya itu banyak dibeli oleh para penjual mainan untuk kemudian dijual kembali. Dia pun kerap memetik hasilnya setiap bulan Apit dalam penanggalan Jawa.
“Karena biasanya di bulan ini banyak desa menggelar sedekah bumi. Saat ada pertunjukkan kesenian tradisional itulah wayang buatan saya laris dibeli,”imbuhnya. (SRM)